Minggu, 01 Maret 2009

TENTARA DAN POLITIK

Note: written on 27th, April 2007

TENTARA DAN POLITIK

( WARISAN KULTUR POLITIK ORDE BARU DI INDONESIA )

Dalam politik disebagian negara, militer selalu memiliki peranan yang cukup mendominasi dalam pengambilan suatu kebijakan. Mendominasinya kaum militer ini tentu saja menarik untuk dibahas karena seperti yang diketahui orang awam bahwa militer dianggap hanya sebagai pengemban tugas dalam masalah keamanan dan pertahanan suatu negara dan biasanya berdiri sendiri tanpa mencampuri urusan politik sipil. Namun sesuai perkembangan zaman, militer pun tidak dapat “menahan diri” untuk tidak tak perduli dengan masalah politik sipil sehingga mereka tampil dan ikut serta dalam percaturan politik. Ambil saja contoh konkrit di Indonesia, TNI sebagai bagian militer telah ikut terjun dalam perpolitikan sehingga menimbulkan adanya istilah Dwifungsi ABRI (TNI), dimana TNI atau kalangan militer memiliki saham yang cukup penting dalam pengambilan keputusan di negeri ini. Inilah gambaran umum dan salah satu faktor dari timbulnya intervensi militer kedalam dunia perpolitikan. Menurut Sheldon Wolin (1960) adanya organisasi di tubuh militer (organisasi militer) dalam bidang politik dan hal ini menunjukkan adanya kecenderungan bahwa bidang politik telah dipindahkan kebidang lain yang dulu dianggap “private”.

Tentara disebagian negara khususnya negara sedang berkembang memainkan peranan penting dalam pembentukan garis kebijaksanaan keamanan nasional. Meskipun mungkin benar bahwa “politik berada diluar kompetensi militer” dalam pengertian bahwa pihak militer tidak memainkan peranan aktif dalam sistem pemilihan umum, namun peranan mereka dalam pembentukan dan penerapan garis kebijaksanaan keamanan nasional telah memacunya mengambil suatu sikap politik. Oleh karena militer berada didalam dinas negara dan sebagai pejabat, ia tidak dapat mengambil sikap politik yang netral.

Di Indonesisa, pasca jatuhnya kekuasaan Orde Baru, antimiliter atau sentimen antimiliterisme pun tumbuh dan berkembang dimana-mana. Orang banyak sadar bahwa militer adalah salah satu biang keladi nista yang menimpa bangsa ini. Kemiskinan massal, kelaparan, pengangguran, sentimen ras, etnis dan agama, dan penjagalan manusia merupakan potret buram negeri ini. Tiga puluh dua tahun Indonesia dibungkam atas nama ’demokrasi’ yang sebenarnya lebih tepat disebut ’demokrasi semu’. Demokrasi semu yang memperlihatkan ketenangan dipermukaan namun terjadi pembungkaman didalam. Pembungkaman bagi orang-orang yang kontra pemerintahan Soeharto. Politik dan ekonomi bahkan hampir semua sektor penting dikuasai oleh orang-orang Cendana. Keterlibatan tentara (militer) pun sangat mendominasi.

Dominasi militer dalam panggung politik Orde Baru ditandai dengan penghancuran seluruh kekuatan politik sipil yang berpotensi menentangnya. Ratusan ribu
orang mati, terpenjara, terbungkam dan dipaksa tunduk di bawah todongan senapan. Politik sipil, baik yang berideologi kiri, tengah, radikal dan kanan, semuanya merasakan duka nestapa yang dalam akibat operasi politik dan bersenjata yang digelar militer. Yang selamat hanya mereka yang mau berkolaborasi dan kooperatif pada pemerintah yang berkuasa.

Itu sebabnya, ketika transisi demokrasi bergerak pasca bergulirnya kekuasaan Orde Baru, tuntutan agar TNI kembali ke barak gencar dikumandangkan. Militer tak boleh lagi berbisnis, tak boleh lagi memalaki para pengusaha, tak boleh bikin statemen-statemen politik yang harusnya jadi urusan sipil, tak boleh kebal hukum, tak boleh menginteli, menculik dan menembaki warga sipil. Tujuannya, menempatkan militer semata-mata sebagai alat pertahanan. Tugasnya hanya bertempur melawan musuh dari luar. Indikasi awal Indikasi ‘mundurnya’ militer dalam politik praktis dirasakan pada tanggal 5 Agustus 2002, dimana di tengah-tengah pelaksanaan Sidang Tahunan MPR, fraksi Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Republik Indonesia (TNI/Polri) mendadak bikin kejutan politik. Melalui ketua fraksinya, Mayor Jenderal Slamet Supriyadi, fraksi bersenjata ini menyatakan keputusannya untuk keluar dari gedung MPR/DPR mulai 2004. Pencabutan dwi fungsi TNI tak menyentuh inti kekuatan politik militer, yakni markas-markas komando di daerah dan penguasaan bisnis tentara (lembaga maupun pribadi). Tak banyak yang menyadari bahwa tuntutan penggusuran militer dari wilayah politik sipil, harus dimengerti dalam konteks ekonomi-politik orde baru. Dominasi militer hadir untuk membebaskan pasar dalam negeri dari seluruh rintangan yang ada. Contohnya, karena Soekarno ngotot melindungi pasar nasional, Soekarno harus dijatuhkan. Karena PKI antikapitalisme, PKI harus dimusnahkan. Karena rakyat sering protes terhadap dominasi modal asing, rakyat harus dibungkam. Karena politisi sipil selalu rewel, mereka harus dikontrol ketat. Karena mahasiswa selalu berdemonstrasi, kampus harus dibungkam. Itulah dasarnya, itulah landasan dominasi politik militer.

Karena bangunan dasar sistemnya tetap kapitalis, tujuan dari profesionalisme militer tak lain untuk mengawal aktivitas ekonomi para kapitalis. Kita tahu, pada masa transisi demokrasi, pemerintahan sipil yang lalu-lalu tak mampu keluar dari jebakan krisis ekonomi. Mereka termakan propaganda para pembela pasar bebas, bahwa krisis yang terjadi akibat tidak bekerjanya mekanisme pasar karena penyakit korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Karena itu mereka gencar menerapkan kebijakan neoliberal yang didiktekan IMF, yang menghendaki pasar bebas dari intervensi negara. Berbagai kebijakan pun digelar: swastanisasi, deregulasi, pencabutan subsidi, pemotongan anggaran publik, otonomi kampus, dan sebagainya.

Kebijakan-kebijakan tersebut tujuannya satu: menguntungkan kaum bermodal dan memiskinkan rakyat miskin. Agar kebijakan neoliberal ini bisa dijalankan, maka stabilitas politik harus dijamin. Lagi-lagi militer hadir di sini: membungkam gerakan rakyat miskin yang menentang kebijakan neoliberal. Jadi dalam masa ini, militer hanya berfungsi sebagai pelayan modal, sebagai pemadam kebakaran. Mereka tak boleh berbisnis, tak boleh berpolitik, atau harus menjadi profesional. Tapi, justru di sini peran politik militer kembali dominan. Karena pemerintahan sipil itu tunduk pada IMF atau lembaga-lembaga inernasional lainnya yang hasilnya adalah perlawanan rakyat miskin, maka mereka menjadi sangat tergantung pada dukungan militer.

Tiga puluh dua tahun di bawah kediktatoran militer, menyebabkan tak lahir kader politisi sipil yang tangguh dan memiliki visi. Para politisi sipil sekarang lahir, dibesarkan dan mewarisi kultur politik orde baru: tak punya visi, mengandalkan politik elit, mobilisasi massa untuk kepentingan politik dagang sapi, dan tak menghargai proses demokrasi. Demokrasi bagi mereka adalah gontok-gontokkan, sekadar berbeda, oposisi karena sentimen pribadi, dan money politic. Tak heran jika mereka kembali tergantung pada dukungan politik dari militer. Kompromi menjadi niscaya. Hampir seluruh partai politik yang berkuasa saat ini, mengandalkan restu militer untuk melanggengkan kekuasaannya baik secara langsung maupun tidak langsung.

Saat ini, kekhawatiran akan kembalinya naluri berkuasa TNI ke dalam politik melewati cara-cara militer dan tentu saja tidak konstitusional bisa saja terealisasi apabila politisi sipil dianggap tidak mampu mengemban peran sebagai penyelenggara Negara. Hal tersebut telah lama disinggung oleh Profesor Universitas Harvard, Samuel P. Huntington yang mengatakan bahwa ”Politisi sipil yang tak becus silahkan menyerahkan kekuasaannya pada tentara”. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kekecewaan rakyat pada politisi sipil rentan akan munculnya akumulasi ’kerinduan’ akan hadirnya peran militer dalam mengemban pemerintahan otoritarian, meskipun hal tersebut masih dalam wacana abstrak.

Pemilihan Umum 2004 merupakan momentum penting bagi tentara. Atas kemauan sendiri dan juga atas hasil perubahan Undang-Undang Dasar 1945, mereka sudah tidak berada di Majelis Permusyawaratan Rakyat setelah Pemilu 2004. Padahal, kalau merujuk pada Ketetapan Majelis Permusyaratan Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri, tentara dan polisi sebetulnya dipatok paling lama di MPR tahun 2009 (Pasal 5 dan Pasal 10).

Dengan adanya kepastian "payung hukum" (meminjam istilah TNI) bahwa TNI dan Polri "angkat kaki" dari parlemen tersebut, ternyata terjadi koinsidensi setelahnya, yaitu banyak purnawirawan TNI yang berdiaspora atau menyebar ke berbagai partai politik untuk bertarung dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2004. Dengan demikian, terbuka lebar peluang mereka untuk masuk kembali ke parlemen walaupun sudah berstatus purnawirawan atau sipil. Dalam zaman demokrasi seperti dewasa ini, partai politik memang menjadi tempat perekrutan untuk masuk ke parlemen. Beberapa di antara purnawirawan bahkan langsung direkrut menjadi pimpinan partai politik.

Hal tersebut pernah diamati oleh Peneliti dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) Dr Kusnanto Anggoro yang menyatakan bahwa menyebarnya purnawirawan TNI ke partai politik adalah gejala biasa karena dalam masa transisi demokrasi Indonesia menganut sistem hibrida. Berbeda dengan pengalaman negara Amerika Latin, seperti Argentina, yang memutus secara tegas antara rezim militer dan sipil.

Pada masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudoyono (SBY) – Jusuf Kala (JK) sekarang ini, ada semacam sentimen dari segilintir masyarakat akan arah negara ini. Nasib ekonomi secara umum belum bisa dikatakan baik. Tidak sedikit rakyat yang masih melarat. Bencana nasional yang datang silih berganti (dimulai dari tsunami, gempa bumi hingga kecelakaan transportasi baik di darat, di laut hingga di udara) hingga isu reshuffle yang tengah menghangat, memberikan kontribusi negatif bagi duo SBY-JK yang dianggap gagal dalam memimpin negara. SBY yang notabene mantan militer kembali jadi sasaran empuk bagi masyarakat yang antimiliter ekstrem. Berbagai demonstrasi baik dari kalangan mahasiswa maupun LSM yang anti militerisme mengangkat wacana bahwa partisipasi militer atau purna wirawan militer dalam politik hanya akan berakhir pada kesengsaraan rakyat. Keterkaitan militer dalam bentuk apapun dalam politik sekarang ini merupakan bentuk baru kultural orde baru yang meletakkan militer sebagai pelopor dan penjaga pembangunan bangsa (nation-building), dan oleh karena itu memiliki hak penuh untuk secara aktif terlibat dalam peran-peran sosial politik selain dibidang pertahanan dan keamanan. Citra diri tentara yang memandang dirinya sebagi kelas yang lebih tinggi daripada masyarakat lainnya ini menjadikan tentara kemudian memandang sipil dalam dua kategori yakni sebagai junior partner atau sebagai sumber ancaman.

Kewaspadaan kembalinya tentara dalam politik praktis harus dapat dicermati secara khusus dan proposional karena bagaimanapun Indonesia telah pernah mengalami masa-masa ’kelam’ akibat intervesi militer dalam politik. Namun spekulasi kecurigaan kembalinya naluri TNI untuk berkuasa patut dapat dihindari jika politisi sipil dapat mengemban amanah dan tidak mengecewakan rakyat. Kekecewaan akan peranan politisi sipil bisa menjadi indikator dan celah bagi TNI untuk kembali memainkan peranannya dalam politik praktis. Tanpa adanya itikad baik dari politisi sipil untuk menjalankan pemerintahan yang bersih dan adil maka trauma masa lalu bisa jadi kembali lagi membuka luka lama bangsa ini.

Referensi:

Amos Perlmutter, Militer dan Politik, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000.

--------------------, Egypt:The pretorian State, New Brunswick, N.J: Transaction,1974.

Indria Samego, How Low Can You Go?: Upaya Pemerintah Dalam Mempertahankan Dukungan Publik, dalam “Paparan Akhir Tahun Ekonomi Politik CIDES 2006”, Jakarta, 20 Desember 2006, diakses dalam http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/i/indria-samego/publikasi/01.shtml.

Samuel P.Huntington, The Soldier and The State, New York: Nintage Books, 1957.

Sheldon Wolin, Politics and Vision, Boston: Little Brown, 1960.

Stanislav Andreski, Military Organization and Society, Berkeley and Los Angeles: University of California Press,1971.

William Thompson, Explanations of The millitary Coup, Disertasi program Ph.D pada Washington University, Scatlle,1972.

1 komentar: