Jumat, 06 Maret 2009

THE READER --- when the differences unlocked the mystery of love

5 MARET 2009

THE READER

( when the differences unlocked the mystery of love )

by ICA

Title : The Reader

Directed by : Stephen Daldry

Casts : Kate Winslate, Ralph Fiennes and David Kross

Cinta memang tidak mengenal perbedaan. Cinta selalu datang dengan jalannya dan pergi meninggalkan kesan yang mendalam, terlebih cinta pertama. Cinta tak dapat diramalkan, tak dapat diprediksi, ia datang secara alami. Kekuatan kosmik yang tak terlihat adalah cinta. Ilham yang tak memiliki batas adalah cinta.


Inilah yang kiranya hendak disampaikan oleh film “THE READER”. Film arahan sutradara Stephen Daldry ini sungguh mampu menaikkan dan menurunkan emosi penonton. Kekuatan cerita yang unik, dibalut dengan setting film yang berlatar belakang pada masa pasca Perang Dunia II di German ini menghantarkan film ini menjadi pemenang dalam “Las Vegas Film Critics Society Award” dan “Chicago Association Awards”. Ditambah dengan kekuatan karakter pemain sekaliber Kate Winslate turut serta menyumbangkan film ini sebagai pemenang dalam Golden Globe Award dalam kategori “The Best Actress”.


Personally, I’m a big fan of Kate Winslet. Tiap film yang dimainkannya selalu membuat aku tanpa sadar menitikkan air mata, termasuk film yang satu ini. Cerita yang tak biasa, karakter yang kuat dan tegas sepertinya selalu menjadi ciri khas film-film Kate Winslet.


Cerita dimulai pada tahun 1955 di German, ketika seorang remaja berusia 15 tahun bernama Michael Berg (David Kross) sakit dan muntah di depan apartemen milik Hanna Smitzh (Kate Winslet). Hanna yang berumur 28 tahun pada saat itu secara reflek menolong bocah tersebut (dalam film ini, Hanna selalu memanggil Michael dengan sebutan “kid”). Setelah sembuh, sebulan kemudian Michael mengucapkan terima kasih dengan membawakan Hanna bunga. Hanna yang memiliki karakter misterius, dingin, tegas dan sedikit mengatur terkesan cuek dengan ucapan yang diberikan Michael. Meskipun pada pertemuan kedua tersebut terjadi kesalahpahaman diantara mereke, karena tanpa sengaja Michael mengintip Hanna ketika mengganti pakaian dikamarnya.


Malu karena kesalahannya itu keesokan harinya Michael datang lagi untuk meminta maaf. Disinilah cinta tak biasa menyapa mereka. Tak biasa karena perbedaan umur mereka yang cukup jauh. Namun hal tersebut tidak menjadi halangan bagi mereka untuk saling menyayangi. Terlebih lagi karena bagi Michael, Hanna adalah cinta pertamanya dan dengan Hanna pula Michael kehilangan keperjakaannya.


Dalam film ini, Kate Winslet banyak melakukan adegan nude, begitu juga dengan actor pendatang baru David Kross (pemeran Michael pada saat umur 15 tahun). Di awal film hingga durasi 1 jam kedepan banyak adegan-adegan romantisme yang dilakukan Hanna dan Michael. Disana digambarkan bahwa Hanna lah yang banyak mengajarkan Michael bagaimana cara memperlakukan wanita (how to treat a woman). Kesan itulah yang melekat dalam diri Michael hingga ia dewasa, bahwa Hanna lah cinta sejatinya. Dengan Hanna pula ia mengerti tentang wanita dan kekuatan cinta itu tidak pudar dan lekang oleh waktu.


Dengan kehadiran Hanna di hidupnya, sering sekali pulang sekolah Michael menyambangi apartemen Hanna dan mereka pun bercinta. Dari sudut pandang selama menonton, aku lebih melihat cinta yang diberikan Hanna lebih dapat diartikan sebagai cinta yang murni, dapat dilihat dengan ketulusan Hanna yang tak jarang memperlakukan Michael sebagai anak-anak (seperti adegan Hanna memandikan Michael seperti memandikan seorang bocah), berbanding terbalik dengan Michael yang mencintai Hanna karena nafsu remaja dan rasa keingintahuannya akan hubungan dewasa terutama tentang seks.


Setiap judul film pastinya membuat penonton penasaran, hubungan apa yang melatarbelakangi judul film dengan alur cerita. Disini tergambar, bahwa Hanna ternyata buta huruf (baru diketahui diakhir-akhir cerita). Oleh karena ketidakmampuannya dalam membaca dan menulis, maka dengan alasan ingin mendengarkan Michael, maka Hanna meminta Michael untuk membacakan novel-novel yang dibawa remaja tersebut setiap pulang sekolah. Hanna kadang terbawa emosi oleh cerita yang dibacakan oleh Michael, kadang tak jarang ia menangis jika cerita yang dibacakan Michael itu adalah cerita yang sedih.


Seiring waktu berlalu, Hanna mulai sedikit menarik diri dari Michael karena ia menyadari perbedaan yang terlalu mencolok diantara mereka ditambah Michael mulai sedikit bertindak berlebihan dan posesif terhadap Hanna. Hubungan yang awalnya dianggap Hanna hanya sementara ternyata mulai ditanggapi serius oleh Michael. Michael sering menanyakan apakah Hanna mencintainya atau tidak, mengunjungi tempat kerja Hanna yang bekerja sebagai tukang karcis di dalam kereta api.


Puncaknya Hanna meninggalkan apartemen dan memilih bekerja dengan pemerintah Hitler (sebagai penjaga Kamp tahanan Yahudi), Michael kehilangan jejak Hanna. Kesedihan dan rasa patah hati oleh Hanna yang meninggalkannya tepat disaat ia berulang tahun ke 16.


Waktu berlalu, Michael masuk ke universitas jurusan hukum, suatu hari ia dibawa oleh dosennya untuk melihat persidangan 6 wanita yang dituduh membunuh secara sengaja para ratusan orang Yahudi yang ada di German (pada saat itu post World War II). Bukan main terkejutnya Michael ketika melihat salah satu tersangka adalah Hanna, cinta pertamanya yang menghilang itu.


Hanna sebenarnya tidak bersalah atas kasus pembunuhan missal pada zaman Hitler tersebut. Hal ini dapat disimpulkan dari ketidaktahuan Hanna akan tuntutan hakim karena pada saat perekruitan pekerja, Hanna dimanfaatkan oleh orang-orang Nazi karena Hanna buta huruf dan tidak tahu menahu tentang laporan yang dituduhkan padanya. Lebih tepatnya, Hanna menjadi korban politik pada saat itu. Michael yang selalu mengikuti persidangan demi persidangan Hanna mengetahui bahwa Hanna tidak bersalah, terlebih ketika hakim meminta Hanna menulis diatas kertas untuk mencocokkan tulisan laporan yang dituduhkan padanya dengan tulisan tangan aslinya. Hanna yang keras kepala dan malu kalau ketahuan bahwa dirinya buta huruf menolak permintaan hakim dan terpaksa mengakui dirinya lah yang patut dipersalahkan pada kasus pembunuhan missal di German tersebut.


Walhasil Hanna mendapat kurungan penjara seumur hidup. Michael mengalami flashback pada saat itu dan mendapati bahwa alasan Hanna selalu meminta Michael membacakan novel-novel untuknya dikarenakan Hanna buta huruf. Segera Michael memberitahukan hal tersebut pada dosennya dan professor tersebut menyarankan Michael mengunjungi Hanna dipenjara untuk mengatakan pada hakim bahwa ia buta huruf sehingga lepas dari jeratan hokum. Namun yang membuat kecewa (termasuk aku) bahwa Michael terlalu pengecut untuk bertemu dengan Hanna. Namun dapat dimaklumi karena Michael terlanjur agak sekit hati pada Hanna yang meninggalkannya tanpa kata.


Tahun bertahun berlalu, digambarkan Michael telah dewasa, menjadi seorang pengacara, menikah dengan teman kuliahnya, memiliki seorang putri lalu bercerai dengan istrinya. Hidupnya hampa dan terasa kosong karena diliputi rasa bersalah tidak membantu Hanna dipengadilan, ditambah ia masih tidak bisa menggantikan Hanna dengan wanita lain.


Di usianya yang 35 tahun, Michael memberanikan diri mengirimikan tape recorder berisi kaset ke penjara tempat Hanna ditahan. Kaset tersebut berisi rekaman suara Michael yang membacakan novel-novel kesukaan Hanna seperti novel The Odyssey, Huck Finn, atau The Lady with the Little Dog. Secara teratur Michael mengirimkan kaset-kaset rekaman tersebut. Hal itu membuat Hanna bahagia sekaligus terharu bahwa Michael masih ada untuknya.


Kaset-kaset rekaman itu pula yang memotivasi bagi Hanna untuk belajar membaca dengan cara yang unik. Ia mempelajari huruf per huruf dari suara rekaman Michael yang dicocokkannya dengan novel tertulis yang asli. Sehingga lambat laun Hanna bisa menulis surat pendek untuk Michael, meskipun Michael tak pernah sekalipun membalas surat Hanna tersebut.


Setelah Hanna berumur 60-an, Negara memberikan Hanna amnesty dan melepaskan Hanna. Pihak penjara menghubungi Michael untuk merawat dan melindungi Hanna karena di kontak keluarga yang dibuat Hanna, ia mendaftarkan Michael. Hanna tidak memiliki catatan keluarga dan tidak diketahui asal-usul nya.


Michael dengan besar hati akhirnya bertemu untuk pertama kalinya setelah berpuluh tahun tidak bersua dengan Hanna, seminggu sebelum pelepasan Hanna ke dunia bebas. Namun ketika bertemu, Michael agak terkesan dingin, berbanding terbalik ketika dulu, dimana Hanna lah yang bersikap acuh tak acuh pada Michael.


Pertemuan itu membuat Hanna sedih, tepat satu hari sebelum dilepaskan dari penjara, Hanna bunuh diri di kamar sel penjaranya, dengan cara gantung diri. Michael terpukul dan sedih dnegan kejadian tersebut. Sebelum meninggal Hanna meninggalkan surat pendek untuk Michael, meminta bantuan Michael untuk memberikan kaleng penyimpanan uang plus sejumlah uang untuk seorang anak yang ibunya terbunuh pada kejadian pembunuhan missal orang Yahudi yang lalu. Terbanglah Michael ke Amerika Serikat bertemu dengan wanita yang dituju oleh Hanna. Melalui pembicaraan yang panjang dan mendalam ditambah dengan kejujuran Michael yang akhirnya menceritakan bahwa dulu ia dan Hanna memiliki hubungan yang intim kepada sang wanita itu, membuat wanita tersebut memaafkan Hanna yang telah dengan tidak sengaja membunuh keluarga pada kejadian di German dahulu. Bahkan uang yang diberikan Hanna untuk wanita tersebut dijadikan untuk pembangunan pustaka kecil yang diberi nama Hanna Smitzh.


Diakhir film, digambarkan Michael merasa beban kesalahannya pada Hanna hilang dan mulai memaafkan dirinya dan Hanna. Ia membawa putrinya yang telah beranjak dewasa kesebuah tempat dipinggiran German, disebuah gereja tua yang dulu pernah dikunjunginya bersama Hanna. Disanalah Hanna berbaring di makamnya yang damai, dibelakang gereja tua favorit Hanna tersebut.


Overall film ini sangat menyentuh, meskipun di awal cerita banyak adegan-adegan percintaan dewasa Michael dan Hanna, namun bagian tengah cerita mulai membawa emosi penonton pada tingkat yang lebih tinggi dan emosional. Sebuah cerita yang kuat tentang pertarungan dua insan anak manusia yang dijembatani oleh perbedaan usia. Disanalah kuncinya. Pembuktian bahwa cinta sejati tak pernah mati meskipun hal tersebut melewati tapal batas kenormalan bahkan usia. Sekaligus menyadarkan kita bahwa cinta dengan perbedaan tersebut mampu membuka tabir misteri akan sesuatu yang disebut CINTA.

Note: daripada penasaran, cepetan nonton filmnya, dijamin gak akan kuciwa deh ^___^

Minggu, 01 Maret 2009

Madilog Sang TAN MALAKA


TAN MALAKA : MADILOG DAN MANIFESTO POLITIK

By HIZRA MARISA, S.IP

Tulisan ini akan membahas mengenai pemikiran seorang tokoh revolusioner Tan Malaka mengenai karya besarnya yang berjudul Madilog dan pemikiran-pemikirannya mengenai politik dan masalah kemasyarakatan. Dalam tulisan ini, penulis akan mencoba menelaah, memahami dan mencermati pemikiran Tan Malaka dan Madilog-nya yang telah lama memprediksi tentang perkembangan politik serta kemasyarakatan bangsa Indonesia dimasa yang akan datang (masa kini). Tulisan tentang Tan Malaka ini akan dibagi kepada fase-fase seperti Riwayat, Perjuangan, Madilog dan Manifesto Politik Tan Malaka bagi perkembangan politik Indonesia masa kini.

Berbicara tentang sosok seorang revolusioner sekaligus Pahlawan Kemerdekaan Nasional (SK Presiden RI No 53/ 1963), Tan Malaka tetap saja diliputi suasana “angker” dan misterius. Hanya sedikit orang yang betul-betul mengenalnya dan mengetahui pemikiran-pemikiran yang beliau tuangkan dalam karyanya yang melegenda yakni MaDiLog.

A. Biografi Singkat Tan Malaka

Tan Malaka atau Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka lahir pada 2 Juni 1897 di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Sumatra Barat, dan meninggal pada 19 Februari 1949 di dekat Kediri, Jawa Timur.

Tan Malaka adalah seorang aktivis pejuang nasionalis Indonesia dan juga seorang pemimpin komunis. Dia seorang pejuang yang militan, radikal dan revolusioner ini telah banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang berbobot dan berperan besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih maka ia dikenal sebagai tokoh revolusioner yang legendaris.

Dia kukuh mengkritik terhadap pemerintah kolonial Hindia-Belanda maupun pemerintahan republik di bawah Soekarno pasca-revolusi kemerdekaan Indonesia. Dia juga sering terlibat konflik dengan kepemimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI). Tan Malaka menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam pembuangan diluar Indonesia, dan secara tak henti-hentinya terancam dengan penahanan oleh penguasa Belanda dan sekutu-sekutu mereka. Walaupun secara jelas disingkirkan, Tan Malaka dapat memainkan peran intelektual penting dalam membangun jaringan gerakan komunis internasional untuk gerakan anti penjajahan di Asia Tenggara. Ia mendeklarasikan sebuah "Pahlawan revolusi nasional" dalam undang-undang parlemen tahun 1963.

Tan Malaka juga seorang pendiri partai Murba, berasal dari Sarekat Islam (SI) Jakarta dan Semarang. Ia dibesarkan dalam suasana semangatnya gerakan modernis Islam Kaoem Moeda di Sumatera Barat. Ada beberapa fase riwayat singkat hidup Tan Malaka seperti yang dapat dijelaskan dibawah ini :

v Saat berumur 16 tahun, 1912, Tan Malaka dikirim ke Belanda.

v Tahun 1919 ia kembali ke Indonesia dan bekerja sebagai guru disebuah perkebunan di Deli. Ketimpangan sosial yang dilihatnya di lingkungan perkebunan, antara kaum buruh dan tuan tanah menimbulkan semangat radikal pada diri Tan Malaka muda.

v Tahun 1921, ia pergi ke Semarang dan bertemu dengan Semaun dan mulai terjun ke kancah politik.

v Saat kongres PKI 24-25 Desember 1921, Tan Malaka diangkat sebagai pimpinan partai.

v Januari 1922 ia ditangkap dan dibuang ke Kupang.

v Pada Maret 1922 Tan Malaka diusir dari Indonesia dan mengembara ke Berlin, Moskwa dan Belanda.

B. Perjuangan Tan Malaka

Pada tahun 1921 Tan Malaka telah terjun ke dalam gelanggang politik. Dengan semangat yang berkobar dari sebuah gubuk miskin, Tan Malaka banyak mengumpulkan pemuda-pemuda komunis. Pemuda cerdas ini banyak juga berdiskusi dengan Semaun (wakil ISDV) mengenai pergerakan revolusioner dalam pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu juga merencanakan suatu pengorganisasian dalam bentuk pendidikan bagi anggota-anggota PKI dan SI (Sarekat Islam) untuk menyusun suatu sistem tentang kursus-kursus kader serta ajaran-ajaran komunis, gerakan-gerakan aksi komunis, keahlian berbicara, jurnalistik dan keahlian memimpin rakyat. Namun pemerintahan Belanda melarang pembentukan kursus-kursus semacam itu sehingga mengambil tindakan tegas bagi pesertanya.

Melihat hal itu Tan Malaka mempunyai niat untuk mendirikan sekolah-sekolah sebagai anak-anak anggota SI untuk penciptaan kader-kader baru. Juga dengan alasan pertama: memberi banyak jalan (kepada para murid) untuk mendapatkan mata pencaharian di dunia kapitalis (berhitung, menulis, membaca, ilmu bumi, bahasa Belanda, Melayu, Jawa dan lain-lain); kedua, memberikan kebebasan kepada murid untuk mengikuti kegemaran mereka dalam bentuk perkumpulan-perkumpulan; ketiga, untuk memperbaiki nasib kaum miskin. Untuk mendirikan sekolah itu, ruang rapat SI Semarang diubah menjadi sekolah. Dan sekolah itu bertumbuh sangat cepat hingga sekolah itu semakin lama semakin besar.

Perjuangan Tan Malaka tidaklah hanya sebatas pada usaha mencerdaskan rakyat Indonesia pada saat itu, tapi juga pada gerakan-gerakan dalam melawan ketidakadilan seperti yang dilakukan para buruh terhadap pemerintahan Hindia Belanda lewat VSTP dan aksi-aksi pemogokan, disertai selebaran-selebaran sebagai alat propaganda yang ditujukan kepada rakyat agar rakyat dapat melihat adanya ketidakadilan yang diterima oleh kaum buruh.

Pergulatan Tan Malaka dengan partai komunis di dunia sangatlah jelas. Ia tidak hanya mempunyai hak untuk memberi usul-usul dan dan mengadakan kritik tetapi juga hak untuk mengucapkan vetonya atas aksi-aksi yang dilakukan partai komunis di daerah kerjanya. Tan Malaka juga harus mengadakan pengawasan supaya anggaran dasar, program dan taktik dari Komintern (Komunis Internasional) dan Profintern seperti yang telah ditentukan di kongres-kongres Moskwa diikuti oleh kaum komunis dunia. Dengan demikian tanggung-jawabnya sebagai wakil Komintern lebih berat dari keanggotaannya di PKI. Sebagai seorang pemimpin yang masih sangat muda ia meletakkan tanggung jawab yang sangat berat pada pundaknya. Tan Malaka dan sebagian kawan-kawannya memisahkan diri dan kemudian memutuskan hubungan dengan PKI, Sardjono-Alimin-Musso.

Pemberontakan 1926 yang direkayasa dari Keputusan Prambanan yang berakibat bunuh diri bagi perjuangan nasional rakyat Indonesia melawan penjajah waktu itu. Pemberontakan 1926 hanya merupakan gejolak kerusuhan dan keributan kecil di beberapa daerah di Indonesia. Maka dengan mudah dalam waktu singkat pihak penjajah Belanda dapat mengakhirinya. Akibatnya ribuan pejuang politik ditangkap dan ditahan. Ada yang disiksa, ada yang dibunuh dan banyak yang dibuang ke Boven Digoel, Irian Jaya. Peristiwa ini dijadikan dalih oleh Belanda untuk menangkap, menahan dan membuang setiap orang yang melawan mereka, sekalipun bukan PKI. Maka perjuangan nasional mendapat pukulan yang sangat berat dan mengalami kemunduran besar serta lumpuh selama bertahun-tahun. Tan Malaka yang berada di luar negeri pada waktu itu, berkumpul dengan beberapa temannya di Bangkok. Di ibu kota Thailand itu, bersama Soebakat dan Djamaludddin Tamin, Juni 1927 Tan Malaka memproklamasikan berdirinya Partai Republik Indonesia (PARI). Dua tahun sebelumnya Tan Malaka telah menulis "Menuju Republik Indonesia". Itu ditunjukkan kepada para pejuang intelektual di Indonesia dan di negeri Belanda. Terbitnya buku itu pertama kali di Kowloon, Hong Kong, April 1925.

Peristiwa 3 Juli 1946 yang didahului dengan penangkapan dan penahanan Tan Malaka bersama pimpinan Persatuan Perjuangan, di dalam penjara tanpa pernah diadili selama dua setengah tahun. Setelah meletus pemberontakan FDR/PKI di Madiun, September 1948 dengan pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin, Tan Malaka dikeluarkan begitu saja dari penjara akibat peristiwa itu. Di luar, setelah mengevaluasi situasi yang amat parah bagi republik Indonesia akibat Perjanjian Linggajati 1947 dan Renville 1948, yang merupakan buah dari hasil diplomasi Sutan Syahrir dan Perdana Menteri Amir Syarifuddin, Tan Malaka merintis pembentukan Partai MURBA, 7 November 1948 di Yogyakarta.

Pada tahun 1949 tepatnya bulan Februari Tan Malaka hilang tak tentu rimbanya, mati tak tentu kuburnya di tengah-tengah perjuangan bersama Gerilya Pembela Proklamasi di Pethok, Kediri, Jawa Timur. Namun berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Soekarno 28 Maret 1963 menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan kemerdekaan Nasional.

C. ”Madilog” Tan Malaka

Di antara sekian banyak buku Tan Malaka, Madilog (materialisme, dialektik dan logika) pantas mendapat perhatian khusus. Dalam Madilog ia memaparkan cita-citanya bagi Indonesia. Meskipun isi Madilog sebagian besar mengikuti materialisme dialektik Friedrich Engels (sahabat karib Karl Marx yang memperlengkap filsafat sosial Marx dengan filsafat alam dan ontologi materialis yang kemudian akan menjadi dasar filosofis Marxisme-Leninisme), Madilog bukan semacam "ajaran partai" atau "ideologi proletariat", melainkan cita-cita dan keyakinan Tan Malaka sendiri. Malahan sangat mencolok bahwa Madilog bebas sama sekali dari nada tidak sedap buku-buku Marxisme-Leninisme yang senantiasa menuntut ketaatan mutlak pembaca terhadap Partai Komunis, alias pimpinannya. Madilog bebas dari segala bau ideologis, bebas dari jargon ortodoksi partai yang tahu segala-galanya. Madilog adalah imbauan seorang nasionalis sejati pada bangsanya untuk ke luar dari keterbelakangan dan ketertinggalan.

Tan Malaka melihat bangsa Indonesia terbelenggu dalam keterbelakangan oleh "logika mistika". "Logika mistika" adalah logika gaib, di mana orang percaya bahwa apa yang terjadi di dunia adalah kerjaan kekuatan-kekuatan keramat di alam gaib. Logika gaib melumpuhkan orang karena, daripada menangani sendiri tantangan yang dihadapinya, ia mengharapkannya dari kekuatan-kekuatan gaib itu. Daripada berbuat dan berusaha, ia mengadakan mantra, sesajen dan doa-doa.

Tan Malaka mengatakan bahwa selama bangsa Indonesia masih terkungkung oleh logika gaib itu, tak mungkin ia menjadi bangsa yang merdeka dan maju. Jalan ke luar dari logika gaib adalah "madilog", materialisme, dialektik dan logika. Mirip dengan August Comte, sang bapak positivisme seratus tahun sebelumnya, Tan Malaka melihat kemajuan umat manusia melalui tiga tahap: Dari "logika mistika" lewat "filsafat" ke "ilmu pengetahuan" atau "sains".

o Materialisme : yang dimaksud dengan materialisme, bukan pertama-tama pandangan filosofis bahwa segala yang ada itu materi atau berasal dari materia (meskipun ini juga pandangan materialisme dialektik), melainkan keterarahan perhatian manusia pada kenyataan, daripada pada khayalan dan takhayul. Daripada mencari penyebab segala kejadian di alam gaib, carilah di kenyataan bendawi sendiri. Selidikilah realitas material dan itu berarti: pakailah ilmu pengetahuan! Materialisme berarti: mempelajari realitas bendawi dengan mempergunakan pendekatan ilmiah.

o Dialektika : Tan Malaka menyatakan bahwa dialektika berarti bahwa realitas tidak dilihat sebagai sejumlah unsur terisolasi yang sekali jadi lalu tak pernah berubah. Dialektika mengatakan bahwa segala sesuatu bergerak maju melalui langkah-langkah yang saling bertentangan. Khususnya ia menyebutkan dua "hukum" dialektika: "hukum penyangkalan dari penyangkalan" dan "hukum peralihan dari pertambahan kuantitatif ke perubahan kualitatif".

o Logika : Tan malaka menegaskan bahwa logika tidak dibatalkan oleh dialektika, melainkan tetap berlaku dalam dimensi mikro. Tan Malaka justru menunjukkan bahwa pemikiran logis, dengan paham dasar dialektis, membebaskan ilmu pengetahuan untuk mencapai potensialitas yang sebenarnya. Logika gaib dilawan dengan logika yang sebenarnya.

Pada akhir bukunya Tan Malaka mengajak kita mengelilingi sebuah "taman raya" utopis di mana semua tokoh nasional dan internasional mendapat patungnya. Semua tokoh besar, apakah dari Majapahit atau pergerakan nasional, dari Plato sampai Lenin, ditempatkan tinggi rendahnya menurut sumbangan mereka terhadap cara berpikir Madilog.

Ada yang mengejutkan dalam Madilog, tanpa reserve Tan Malaka mendukung pemikiran Barat. Madilog adalah "pusaka yang saya terima dari Barat". Dengan penegasannya bahwa pemikiran "Timur" dalam hal budaya politik harus ditinggalkan, Tan Malaka sangat mirip dengan seorang putra Sumatera Barat lain, Sutan Takdir Alisyahbana dan secara internasional, pemikiran Tan Malaka mirip dengan August Comte. Seluruh Madilog merupakan imbauan agar bangsa Indonesia mau ke luar dari cara berpikir tidak rasional supaya ia dapat mengambil tempatnya di antara bangsa-bangsa besar.

D. Manifesto Tan Malaka bagi perkembangan politik masa kini

Sejak dulu Tan Malaka telah dapat meramalkan keadaan kemasyarakatan Indonesia secara luas ditinjau dari sudut pandang budaya politik. Tan Malaka mengatakan dalam Madilog-nya : Indonesia tak akan pernah benar-benar bebas apabila masih terkungkung pada pemikiran gaib, irasional dan percaya akan hal-hal tahayul lainnya.

Tan Malaka telah membaca pemikiran bangsa Indonesia yang acapkali berpijak pada hal-hal ketimuran yang begitu ketat sehingga kadang menghilangkan aspek irasionalitas dan keilmiahan. Dalam kajian politik, Tan Malaka pernah membahas tentang adat dan budaya bangsa Indonesia dalam hal pemilihan pemimpin bangsa. Indonesia yang sarat dengan budaya “wangsit, gaib dan irasional” menjadikan dasar kekharismaan seorang sosok atau tokoh dalam memilih pemimpin. Masyarakat melupakan bahwa ada faktor-faktor yang lebih penting seperti sumbangsih pemikiran, kepintaran dan intelektualitas dalam hal kepemimpinan bukan sekedar garis keturunan dan kharisma kerajaan seperti yang sampai sekarang terjadi di Jogjakarta, dimana rakyat memilih pemimpin berdasarkan garis keturunan dan wangsit. Tan Malaka ingin mengajak masyarakat agar lebih partisipatif dan meninggalkan segala hal berbau irasionalitas dan budaya pembodohan yang ada dan marak terjadi di Indonesia baik dalam politik, budaya maupun ekonomi.

Ada beberapa yang menjadi ciri khas gagasan Tan Malaka yaitu:

(1) Dibentuk dengan cara berpikir ilmiah berdasarkan ilmu bukti,

(2) Bersifat Indonesia sentris,

(3) Futuristik

(4) Mandiri, konsekwen serta konsisten.

Tan Malaka menuangkan gagasan-gagasannya ke dalam sekitar 27 buku, brosur dan ratusan artikel di berbagai surat kabar terbitan Hindia Belanda. Karya besarnya Madilog juga mengajak dan memperkenalkan kepada bangsa Indonesia cara berpikir ilmiah bukan berpikir secara kaji atau hafalan, bukan secara “Text book thinking” atau bukan dogmatis dan bukan doktriner.

Semua karya Tan Malaka dan permasalahannya dimulai dengan Indonesia. Konkritnya rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara serta kebudayaan, sejarah lalu diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalahnya. Untuk mencapai Republik Indonesia sudah dicetuskan sejak tahun 1925 lewat “Naar de Republiek Indonesia”. Tan Malaka telah lama membicarakan tentang Republik Indonesia sehingga Tan Malaka disebut juga Bapak Pencetus Republik Indonesia.

Jika kita membaca karya-karya Tan Malaka yang meliputi semua bidang kemasyarakatan, kenegaraan, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan sampai kemiliteran (“Gerpolek”-Gerilya-Politik dan Ekonomi, 1948), maka akan kita temukan benang putih keilmiahan dan keIndonesiaan serta benang merah kemandirian, sikap konsekwen dan konsisten yang direnda jelas dalam gagasan-gagasan serta perjuangan implementasinya.

Tan Malaka memperlihatkan satu keyakinan yaitu bahwa suatu paham politik yang kuat dan ideologi yang dianut luas, selayaknya berdiri di atas epistemologi politik yang dapat dipertanggungjawabkan sampai ke dasar yang sedalam-dalamnya, dan diuji konsekuensi-konsekuensinya sampai batas yang terjauh.

Nalar yang dikembangkan Tan Malaka adalah jelas, sederhana dan sistematis. materialisme Tan Malaka bukanlah pertama-tama propaganda pro kebendaan, melainkan lebih merupakan kampanye anti-mistifikasi pandangan-dunia yang jauh menghunjam dalam berbagai kelompok budaya di Indonesia. Paham ini diperlakukannya lebih sebagai sarana untuk menentang dan mengikis kesukaan kepada yang serba gaib, dan berfungsi sebagai kritik kebudayaan yang merembet pada aspek politik. Hal ini penting karena tidak banyak gunanya kita mempunyai beberapa doktor fisika nuklir atau ahli politik dengan otak yang cemerlang, tetapi sikap hidup dan tingkah lakunya masih dikendalikan oleh tahyul.

E. Tan Malaka dalam Psikologis Politik

Dalam hal psikologis politik Tan Malaka menguraikan berbagai kesalahan berpikir yang biasa dilakukan para politisi dan sampai sekarang acapkali terjadi dalam kehidupan politik bangsa Indonesia. Menurut Tan Malaka para politisi biasanya menggunakan kesalahan atau penipuan logis yakni :

1. Ignoratio Elenchi: dalam teknik ini jawaban yang diberikan politisi atau tokoh tidak menjawab apa yang ditanyakan tetapi berfungsi membuat pihak yang bertanya kaget, kagum, terpesona atau takut. Contohnya : Wartawan sebuah koran, bertanya kepada seorang menteri apakah benar gosip bahwa dia terlibat korupsi Bank Bali. Jawabannya (dengan teknik ignoratio elenchi) adalah: "Masak kamu tidak tahu siapa saya?" atau "Pernah nggak lihat saya meninggalkan sholat / sembahyang?" atau juga "Kamu saya kasih Rp 1 milyar, kalau bisa bawa dua bukti korupsi saya". Semua jawaban itu hanya efektif untuk menimbulkan kesan pada penanya tetapi sama sekali tidak menjawab apa yang ditanyakan.

2. Petitio Principii (begging of the question): kesalahan yang terjadi adalah bahwa apa yang harus dibuktikan, kemudian diambil sebagai bukti. Menurut Tan Malaka, kebiasaan berpikir ini seringkali muncul dalam cara pikir berdasarkan kepercayaan-kepercayaan yang bersifat metafisik. Dalam paham kekuasaan yang berdasarkan kepercayaan tentang pulung atau wangsit, maka pembuktian legitimasi biasanya dilakukan dengan jalan petitio principii atau logika melingkar. Dengan demikian kalau ditanyakan mengapa Ken Arok dapat menjadi raja sekalipun dia berasal dari kalangan sudra, maka dijawab, karena dia mendapat wangsit. Seterusnya, kalau ditanyakan mana buktinya bahwa dia mendapat wangsit, maka dijawab, karena Ken Arok dapat mencapai kekuasaan seorang raja.

Kalau logika dibutuhkan untuk melihat suatu identitas (yaitu jawaban terhadap pertanyaan "apa itu?") maka dialektik dibutuhkan untuk memahami perubahan, yaitu peralihan dari suatu identitas ke identitas lainnya.

Dilihat dengan cara itu, mungkin berbagai persoalan yang menyakitkan sekarang di Indonesia dapat dilihat dengan cara yang lebih dialektis dan karena itu memberi harapan. Tese di sini adalah stabilitas dan harmoni Orde Baru yang tidak mengizinkan perbedaan dan konflik. Antitese reformasi adalah konflik dan kekerasan yang tidak mengenal kompromi. Sintese yang kita harapkan adalah kemampuan mengelola konflik dalam suatu suasana terbuka yang lebih demokratis. Atau dalam bentuk lainnya, KKN adalah tese budaya politik Orde Baru yang dilindungi oleh otoritarianisme politik. Antitesenya adalah demonstrasi yang tak berkeputusan terhadap setiap dugaan korupsi dalam birokrasi yang disertai oleh semacam otoritarianisme moral dalam masa reformasi. Sintese yang kita harapkan adalah suatu pemerintahan yang terbuka yang memberi akses kepada kontrol sosial secara demokratis.

F. Kesimpulan

Dari pemikiran Tan Malaka diatas dapat disimpulkan bahwa penggunaan bersama logika dan dialektika itu dibutuhkan untuk menghindari beberapa risiko yaitu :

1. Kalau pun ada dialektika dalam sejarah dan dalam alam sekali pun, dialektika itu bukanlah suatu proses alamiah yang berjalan dengan sendirinya (secara otomatis-mekanistis). Khususnya dalam perkembangan sosial, dialektika selalu merupakan dialektika manusia sendiri, yang aktif mengatasi persoalannya dan berusaha memperbaiki kondisi hidupnya. Ini berarti kekerasan yang terjadi di Ambon atau daerah konflik lainnya tidak dapat dibiarkan saja sebagai suatu antitese oleh reformasi terhadap politik Orde Baru, yang akan dengan sendirinya menghasilkan sintese berupa kehidupan demokratis yang lebih terbuka. Antitese itu harus diatasi untuk menghasilkan keadaan atau kualitas baru yang dinamakan sintese. Jadi, kalau kekerasan itu dibiarkan begitu saja dan tidak dibatalkan secara sengaja dengan berbagai usaha aktif maka kekerasan itu akan membawa kepada kehancuran dan bukannya kepada kehidupan yang lebih demokratis.

2. Sekali pun ada faktor-faktor obyektif dalam sejarah yang menggerakan dialektika, proses ini tidak dapat menghilangkan tanggung jawab orang-orang yang terlibat di dalamnya. Ada semacam ketegangan yang selalu timbul antara kekuatan obyektif sejarah dan tanggungjawab moral pelakunya. Kematian atau, lebih tepat, terbunuhnya Marsinah, tak pelak lagi, besar manfaatnya untuk memperkuat gerakan buruh di Indonesia dalam memperjuangan hak-hak mereka yang lebih sesuai dengan keadilan. Sekali pun demikian, pembunuh Marsinah tidak dapat membusung dada bahwa dia telah berjasa menciptakan suatu antitese yang berguna untuk perbaikan nasib buruh. Pada titik itu si pembunuh harus diperlakukan sebagai makhluk moral dan subyek hukum yang wajib memberikan pertanggungjawaban tentang salah-benar perbuatannya, suatu hal yang tidak bisa lagi dilakukan secara dialektis, tetapi hanya dapat diuraikan dan diperiksa secara logis. Pada titik ini dialektika berakhir, dan logika harus diterapkan kembali. Dalam logika, apa yang baik tidak mungkin sama dengan apa yang tidak baik, dan yang jahat tidak mungkin sama dengan yang tidak jahat. Dialektika barulah berfungsi kalau harus dijelaskan bagaimana seorang pembunuh kemudian berubah menjadi seorang pekerja sosial yang penuh pengabdian, atau bagaimana kejahatannya telah medatangkan kebaikan untuk gerakan buruh di Indonesia.

Pemikiran Tan Malaka yang meliputi dan mengena pada semua bidang kemasyarakatan, kenegaraan, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan sampai kemiliteran diatas memberikan satu bukti berarti pada kita semua bahwa bangsa Indonesia memiliki seorang sosok bernama Tan Malaka yang sangat meng-Indonesia yang ajarannya tidak hanya mengajak bangsa Indonesia sebagai bangsa ilmiah tetapi juga agar menjadikan pemikiran yang rasional sebagai batu pijakan dalam bertindak disegala aspek kehidupan.

Sedangkan pemikiran Tan Malaka sebagai salah satu tokoh revolusioner bangsa Indonesia dapat disimpulkan dan digambarkan sebagai berikut :

1. Ada kesadaran ke-Indonesian yang kuat dikaitkan dengan Worldview dunia luas. Tokoh-tokoh nasional sekaliber Tan Malaka bukan hanya sebatas kedaerahan sempit tapi meluas dalam spirit keindonesiaan dan dunia global. Tan Malaka adalah filosof sosialisme dgn pemahaman lewat jalan dialektika dan sintesis (penyatuan dalam pertentangan).

2. Dorongan spirit atau semangat berpartisipasi politik yang teguh. Tan Malaka mempunyai dorongan kuat memberi kontribusi bagi kebangkitan Indonesia. Ia memberi spirit yg kuat mendobrak tantangan masa itu yaitu imperialisme dan kolonialisme yang menjadi penghalang sebuah visualisasi tentang Kemerdekaan dan Berdiri sendiri selaku negara berdaulat. Semangat merdeka tidak tergoyahkan dalam alam bawah sadarnya.

3. Semangat organisasi yang tinggi. Semangat organisasi semua tokoh pada masa lalu seperti Tan Malaka sangat tinggi sekali dan motivasi organisasinya kuat. Ia sadar perjuangan fisik sektoral dan kedaerahan tidak cukup dan terbukti gagal total. Diperlukan perjuangan dalam bentuk lain yaitu hak suara dan hak berserikat serta berkumpul dgn orang-orang sealiran sebangsa setanah air. Dalam organisasi dan perkumpulan menjadikan tokoh bangsa ini berkembang pemikiran dan mantap aktivitas politik termasuk aksi massa.

4. Punya ide dan gagasan orisinil dalam membentuk sistem kenegaraan. Bagaimana susunannya, tata negara, sistem politik, rancangan UUD, sistem ekonomi, sistem sosial kemasyarakan, sistem keagamaan dan lain-lain yg mana ini menjadi semangat tak tertahankan untuk berjuang mewujudkannya jadi sebuah negara merdeka. Hal ini membuat Tan Malaka maupun tokoh-tokoh nasionalis lainnya siap menderita demi sebuah cita-cita. Ide dan gagasan tersebut dituangkan dalam banyak tulisan dan brosur dengan tujuan publik memberi respon positif dan ikut berjuang. Tulisan telah jadi pedang tajam. Jadi Tulisan adalah alat yang ampuh bagi sebuah pencerahan dan persebaran pemikiran, ini yg dilakukan Tan Malaka dalam buku Naar De Republiek (1925) dan Massa Aksi (1927) telah memberi banyak inspirasi bagi tokoh pergerakan kita termasuk Soekarno dan Syahrir yg terispirasi dari tulisan-tulisan Tan Malaka.

Sehingga tidak salah jika Prof. Mohammad Yamin mengatakan dalam karya tulisnya "Tan Malaka Bapak Republik Indonesia" memberi komentar: "Tan Malaka tak ubahnya daripada Jefferson Washington merancang Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai atau Rizal Bonifacio meramalkan Philippina sebelum revolusi Philippina pecah….".

“BERGELAP-GELAPLAH DALAM TERANG, BERTERANG-TERANGLAH DALAM GELAP ! (TAN MALAKA)”

TENTARA DAN POLITIK

Note: written on 27th, April 2007

TENTARA DAN POLITIK

( WARISAN KULTUR POLITIK ORDE BARU DI INDONESIA )

Dalam politik disebagian negara, militer selalu memiliki peranan yang cukup mendominasi dalam pengambilan suatu kebijakan. Mendominasinya kaum militer ini tentu saja menarik untuk dibahas karena seperti yang diketahui orang awam bahwa militer dianggap hanya sebagai pengemban tugas dalam masalah keamanan dan pertahanan suatu negara dan biasanya berdiri sendiri tanpa mencampuri urusan politik sipil. Namun sesuai perkembangan zaman, militer pun tidak dapat “menahan diri” untuk tidak tak perduli dengan masalah politik sipil sehingga mereka tampil dan ikut serta dalam percaturan politik. Ambil saja contoh konkrit di Indonesia, TNI sebagai bagian militer telah ikut terjun dalam perpolitikan sehingga menimbulkan adanya istilah Dwifungsi ABRI (TNI), dimana TNI atau kalangan militer memiliki saham yang cukup penting dalam pengambilan keputusan di negeri ini. Inilah gambaran umum dan salah satu faktor dari timbulnya intervensi militer kedalam dunia perpolitikan. Menurut Sheldon Wolin (1960) adanya organisasi di tubuh militer (organisasi militer) dalam bidang politik dan hal ini menunjukkan adanya kecenderungan bahwa bidang politik telah dipindahkan kebidang lain yang dulu dianggap “private”.

Tentara disebagian negara khususnya negara sedang berkembang memainkan peranan penting dalam pembentukan garis kebijaksanaan keamanan nasional. Meskipun mungkin benar bahwa “politik berada diluar kompetensi militer” dalam pengertian bahwa pihak militer tidak memainkan peranan aktif dalam sistem pemilihan umum, namun peranan mereka dalam pembentukan dan penerapan garis kebijaksanaan keamanan nasional telah memacunya mengambil suatu sikap politik. Oleh karena militer berada didalam dinas negara dan sebagai pejabat, ia tidak dapat mengambil sikap politik yang netral.

Di Indonesisa, pasca jatuhnya kekuasaan Orde Baru, antimiliter atau sentimen antimiliterisme pun tumbuh dan berkembang dimana-mana. Orang banyak sadar bahwa militer adalah salah satu biang keladi nista yang menimpa bangsa ini. Kemiskinan massal, kelaparan, pengangguran, sentimen ras, etnis dan agama, dan penjagalan manusia merupakan potret buram negeri ini. Tiga puluh dua tahun Indonesia dibungkam atas nama ’demokrasi’ yang sebenarnya lebih tepat disebut ’demokrasi semu’. Demokrasi semu yang memperlihatkan ketenangan dipermukaan namun terjadi pembungkaman didalam. Pembungkaman bagi orang-orang yang kontra pemerintahan Soeharto. Politik dan ekonomi bahkan hampir semua sektor penting dikuasai oleh orang-orang Cendana. Keterlibatan tentara (militer) pun sangat mendominasi.

Dominasi militer dalam panggung politik Orde Baru ditandai dengan penghancuran seluruh kekuatan politik sipil yang berpotensi menentangnya. Ratusan ribu
orang mati, terpenjara, terbungkam dan dipaksa tunduk di bawah todongan senapan. Politik sipil, baik yang berideologi kiri, tengah, radikal dan kanan, semuanya merasakan duka nestapa yang dalam akibat operasi politik dan bersenjata yang digelar militer. Yang selamat hanya mereka yang mau berkolaborasi dan kooperatif pada pemerintah yang berkuasa.

Itu sebabnya, ketika transisi demokrasi bergerak pasca bergulirnya kekuasaan Orde Baru, tuntutan agar TNI kembali ke barak gencar dikumandangkan. Militer tak boleh lagi berbisnis, tak boleh lagi memalaki para pengusaha, tak boleh bikin statemen-statemen politik yang harusnya jadi urusan sipil, tak boleh kebal hukum, tak boleh menginteli, menculik dan menembaki warga sipil. Tujuannya, menempatkan militer semata-mata sebagai alat pertahanan. Tugasnya hanya bertempur melawan musuh dari luar. Indikasi awal Indikasi ‘mundurnya’ militer dalam politik praktis dirasakan pada tanggal 5 Agustus 2002, dimana di tengah-tengah pelaksanaan Sidang Tahunan MPR, fraksi Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Republik Indonesia (TNI/Polri) mendadak bikin kejutan politik. Melalui ketua fraksinya, Mayor Jenderal Slamet Supriyadi, fraksi bersenjata ini menyatakan keputusannya untuk keluar dari gedung MPR/DPR mulai 2004. Pencabutan dwi fungsi TNI tak menyentuh inti kekuatan politik militer, yakni markas-markas komando di daerah dan penguasaan bisnis tentara (lembaga maupun pribadi). Tak banyak yang menyadari bahwa tuntutan penggusuran militer dari wilayah politik sipil, harus dimengerti dalam konteks ekonomi-politik orde baru. Dominasi militer hadir untuk membebaskan pasar dalam negeri dari seluruh rintangan yang ada. Contohnya, karena Soekarno ngotot melindungi pasar nasional, Soekarno harus dijatuhkan. Karena PKI antikapitalisme, PKI harus dimusnahkan. Karena rakyat sering protes terhadap dominasi modal asing, rakyat harus dibungkam. Karena politisi sipil selalu rewel, mereka harus dikontrol ketat. Karena mahasiswa selalu berdemonstrasi, kampus harus dibungkam. Itulah dasarnya, itulah landasan dominasi politik militer.

Karena bangunan dasar sistemnya tetap kapitalis, tujuan dari profesionalisme militer tak lain untuk mengawal aktivitas ekonomi para kapitalis. Kita tahu, pada masa transisi demokrasi, pemerintahan sipil yang lalu-lalu tak mampu keluar dari jebakan krisis ekonomi. Mereka termakan propaganda para pembela pasar bebas, bahwa krisis yang terjadi akibat tidak bekerjanya mekanisme pasar karena penyakit korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Karena itu mereka gencar menerapkan kebijakan neoliberal yang didiktekan IMF, yang menghendaki pasar bebas dari intervensi negara. Berbagai kebijakan pun digelar: swastanisasi, deregulasi, pencabutan subsidi, pemotongan anggaran publik, otonomi kampus, dan sebagainya.

Kebijakan-kebijakan tersebut tujuannya satu: menguntungkan kaum bermodal dan memiskinkan rakyat miskin. Agar kebijakan neoliberal ini bisa dijalankan, maka stabilitas politik harus dijamin. Lagi-lagi militer hadir di sini: membungkam gerakan rakyat miskin yang menentang kebijakan neoliberal. Jadi dalam masa ini, militer hanya berfungsi sebagai pelayan modal, sebagai pemadam kebakaran. Mereka tak boleh berbisnis, tak boleh berpolitik, atau harus menjadi profesional. Tapi, justru di sini peran politik militer kembali dominan. Karena pemerintahan sipil itu tunduk pada IMF atau lembaga-lembaga inernasional lainnya yang hasilnya adalah perlawanan rakyat miskin, maka mereka menjadi sangat tergantung pada dukungan militer.

Tiga puluh dua tahun di bawah kediktatoran militer, menyebabkan tak lahir kader politisi sipil yang tangguh dan memiliki visi. Para politisi sipil sekarang lahir, dibesarkan dan mewarisi kultur politik orde baru: tak punya visi, mengandalkan politik elit, mobilisasi massa untuk kepentingan politik dagang sapi, dan tak menghargai proses demokrasi. Demokrasi bagi mereka adalah gontok-gontokkan, sekadar berbeda, oposisi karena sentimen pribadi, dan money politic. Tak heran jika mereka kembali tergantung pada dukungan politik dari militer. Kompromi menjadi niscaya. Hampir seluruh partai politik yang berkuasa saat ini, mengandalkan restu militer untuk melanggengkan kekuasaannya baik secara langsung maupun tidak langsung.

Saat ini, kekhawatiran akan kembalinya naluri berkuasa TNI ke dalam politik melewati cara-cara militer dan tentu saja tidak konstitusional bisa saja terealisasi apabila politisi sipil dianggap tidak mampu mengemban peran sebagai penyelenggara Negara. Hal tersebut telah lama disinggung oleh Profesor Universitas Harvard, Samuel P. Huntington yang mengatakan bahwa ”Politisi sipil yang tak becus silahkan menyerahkan kekuasaannya pada tentara”. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kekecewaan rakyat pada politisi sipil rentan akan munculnya akumulasi ’kerinduan’ akan hadirnya peran militer dalam mengemban pemerintahan otoritarian, meskipun hal tersebut masih dalam wacana abstrak.

Pemilihan Umum 2004 merupakan momentum penting bagi tentara. Atas kemauan sendiri dan juga atas hasil perubahan Undang-Undang Dasar 1945, mereka sudah tidak berada di Majelis Permusyawaratan Rakyat setelah Pemilu 2004. Padahal, kalau merujuk pada Ketetapan Majelis Permusyaratan Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri, tentara dan polisi sebetulnya dipatok paling lama di MPR tahun 2009 (Pasal 5 dan Pasal 10).

Dengan adanya kepastian "payung hukum" (meminjam istilah TNI) bahwa TNI dan Polri "angkat kaki" dari parlemen tersebut, ternyata terjadi koinsidensi setelahnya, yaitu banyak purnawirawan TNI yang berdiaspora atau menyebar ke berbagai partai politik untuk bertarung dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2004. Dengan demikian, terbuka lebar peluang mereka untuk masuk kembali ke parlemen walaupun sudah berstatus purnawirawan atau sipil. Dalam zaman demokrasi seperti dewasa ini, partai politik memang menjadi tempat perekrutan untuk masuk ke parlemen. Beberapa di antara purnawirawan bahkan langsung direkrut menjadi pimpinan partai politik.

Hal tersebut pernah diamati oleh Peneliti dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) Dr Kusnanto Anggoro yang menyatakan bahwa menyebarnya purnawirawan TNI ke partai politik adalah gejala biasa karena dalam masa transisi demokrasi Indonesia menganut sistem hibrida. Berbeda dengan pengalaman negara Amerika Latin, seperti Argentina, yang memutus secara tegas antara rezim militer dan sipil.

Pada masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudoyono (SBY) – Jusuf Kala (JK) sekarang ini, ada semacam sentimen dari segilintir masyarakat akan arah negara ini. Nasib ekonomi secara umum belum bisa dikatakan baik. Tidak sedikit rakyat yang masih melarat. Bencana nasional yang datang silih berganti (dimulai dari tsunami, gempa bumi hingga kecelakaan transportasi baik di darat, di laut hingga di udara) hingga isu reshuffle yang tengah menghangat, memberikan kontribusi negatif bagi duo SBY-JK yang dianggap gagal dalam memimpin negara. SBY yang notabene mantan militer kembali jadi sasaran empuk bagi masyarakat yang antimiliter ekstrem. Berbagai demonstrasi baik dari kalangan mahasiswa maupun LSM yang anti militerisme mengangkat wacana bahwa partisipasi militer atau purna wirawan militer dalam politik hanya akan berakhir pada kesengsaraan rakyat. Keterkaitan militer dalam bentuk apapun dalam politik sekarang ini merupakan bentuk baru kultural orde baru yang meletakkan militer sebagai pelopor dan penjaga pembangunan bangsa (nation-building), dan oleh karena itu memiliki hak penuh untuk secara aktif terlibat dalam peran-peran sosial politik selain dibidang pertahanan dan keamanan. Citra diri tentara yang memandang dirinya sebagi kelas yang lebih tinggi daripada masyarakat lainnya ini menjadikan tentara kemudian memandang sipil dalam dua kategori yakni sebagai junior partner atau sebagai sumber ancaman.

Kewaspadaan kembalinya tentara dalam politik praktis harus dapat dicermati secara khusus dan proposional karena bagaimanapun Indonesia telah pernah mengalami masa-masa ’kelam’ akibat intervesi militer dalam politik. Namun spekulasi kecurigaan kembalinya naluri TNI untuk berkuasa patut dapat dihindari jika politisi sipil dapat mengemban amanah dan tidak mengecewakan rakyat. Kekecewaan akan peranan politisi sipil bisa menjadi indikator dan celah bagi TNI untuk kembali memainkan peranannya dalam politik praktis. Tanpa adanya itikad baik dari politisi sipil untuk menjalankan pemerintahan yang bersih dan adil maka trauma masa lalu bisa jadi kembali lagi membuka luka lama bangsa ini.

Referensi:

Amos Perlmutter, Militer dan Politik, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000.

--------------------, Egypt:The pretorian State, New Brunswick, N.J: Transaction,1974.

Indria Samego, How Low Can You Go?: Upaya Pemerintah Dalam Mempertahankan Dukungan Publik, dalam “Paparan Akhir Tahun Ekonomi Politik CIDES 2006”, Jakarta, 20 Desember 2006, diakses dalam http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/i/indria-samego/publikasi/01.shtml.

Samuel P.Huntington, The Soldier and The State, New York: Nintage Books, 1957.

Sheldon Wolin, Politics and Vision, Boston: Little Brown, 1960.

Stanislav Andreski, Military Organization and Society, Berkeley and Los Angeles: University of California Press,1971.

William Thompson, Explanations of The millitary Coup, Disertasi program Ph.D pada Washington University, Scatlle,1972.